Jumat, 18 Januari 2019

Nah Jelajah Vihara Tertua di Jakarta yang Ditemukan Pelaut Secara Tak Sengaja

Bak permata tersembunyi, begitupun kedatangan Vihara Lalitavistara di Cilincing, Jakarta Utara. Vihara yang berada di Jalan Krematorium Cilincing ini mempunyai riwayat panjang sebab dibuat semenjak era 11.

Ada gapura di muka yang mengisyaratkan jika kita sudah masuk ke kompleks vihara. Saat kita masuk, pendopo di muka menyongsong kita. Pendopo beratap stupa itu adalah tempat guci pembakaran dupa di depannya.

Suwito, seseorang Master Pendidikan Agama Buddha sebagai pemandu wisata vihara paling tua di Jakarta ini menuturkan riwayat Vihara Lalitavistara. "Awalannya, vihara ini bernama Klenteng Sam Kuan Tai Tie, diketemukan oleh beberapa pelaut yang berlabuh di pantai dekat Cilincing ini," katanya saat didapati di vihara ini pada Rabu, 16 Januari 2019.

Masyarakat di seputar pantai lantas membuat tempat beribadah untuk penganut Buddha, yang pada akhirnya bernama Lalitavistara. "Penamaan Lalitavistara ini berdasar pada Kitab Suci agama Buddha yang bercerita mengenai perjalanan hidup Sidharta Gautama dari lahir sampai wafat," jelas Suwito.

Mulai sejak itu, vihara ini tetap berkembang dari waktu ke waktu sampai saat ini, termasuk juga kehadiran sekolah di lingkungan vihara itu. Terlihat siswa-siswi barusan pulang sekolah serta keluar dari ruang itu saat Liputan6.com berkunjung ke vihara itu pada siang hari.

"Vihara ini pula satu kompleks dengan gedung TK, SD, serta SMP Maha Prajna," narasi Suwito. Tidak cuma itu, ada pula Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Maha Prajna disana.

Saat masuk, Liputan6.com dengan 150 pelajar SMA yang tengah ikuti tour dari Wisata Kreatif Jakarta digiring ke ruang besar yang dimaksud altar. Di depannya terpajang patung Sidharta Gautama, tokoh yang lalu dimaksud Buddha. Ada pula patung empat dewa yang lain yang ada disamping dinding itu.

"Altar ini umumnya untuk tempat melaksanakan ibadah, tetapi juga bisa jadi tempat pernikahan," kata Suwito. Dia menuturkan, beribadah di vihara ini memakai dua bahasa, yaitu Bahasa Mandarin serta Bahasa Sansekerta.

Saat kita berjalan telusuri vihara itu, tampaklah barisan lampion yang bergantung di langit-langit itu. Lampion itu berjajar dari depan bangunan sampai ke ruangan sembahyang yang terdapat di belakang.

Beberapa biksu serta biksuni juga tinggal di vihara ini. Mereka tinggal di asrama yang ada di kompleks vihara Lalitavistara. Mereka melakukan hidup selibat serta mesti jauh dari kemewahan.

Ada ruangan serbaguna sebagai tempat bergabung beberapa biksu di dalam ruang ini. "Budaya orang yang beragama Budha ialah makan bersama dengan, oleh karenanya beberapa biksu serta biksuni mesti makan bersama dengan di ruang ini," kata Suwito.

Tidak cuma sisi dalam bangunan yang dirawat, vihara ini mempunyai taman yang tertangani. Miniatur Candi Borobudur ditempatkan di taman itu menjadi aksesories.

Saat kita lihat di luar vihara, ada pula pagoda yang menjulang tinggi di belakang bangunan itu. "Pagoda ini adalah tempat relik, jenazah yang diabukan disimpan di pagoda itu," tutup Suwito akhiri tour.

Gedung vihara ini dilindungi oleh Undang-Undang Monumen STBL 1931 no. 238. Hal tersebut tercantum jelas dalam papan yang dipajang di ruangan sembahyang Vihara Lalitavistara ini. Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum serta Riwayat menetapkannya dalam SK Gubernur No. Gb. 11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972.
Baca juga:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar